Sumber : Uni Sosial Demokrat (Oleh: Budi Susanto)
Pasar obligasi global tersentak ketika Bank Sentral di beberapa negara, seperti Selandia Baru, Eropa, dan Afrika Selatan menaikkan suku bunga tanpa terduga sebelumnya pada awal Juni lalu. Apalagi, pada saat yang bersamaan pelaku pasar di AS memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga sepanjang tahun 2007 ini.
Pasar obligasi Indonesia tidaklah imun terhadap berbagai perkembangan global tersebut. Bagaimana sebaiknya investor menyikapi situasi ini?
Pada pertengahan Juni 2007 terjadi gejolak penurunan harga obligasi hampir di seluruh negara. Penurunan tersebut dipicu kekhawatiran peningkatan laju inflasi di berbagai negara akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Laju inflasi yang tinggi dikhawatirkan akan memicu kenaikan suku bunga secara global sehingga harga obligasi di pasar global terkoreksi.
Conundrum di pasar obligasi AS telah berakhir. Normalisasi imbal hasil (yield) jangka panjang tengah berlangsung seiring dengan peningkatan yield obligasi global.
Secara teoretis, pada saat suku bunga The Fed cenderung meningkat, bentuk kurva yield yang normal adalah yang mempunyai slope positif. Artinya, yield jangka panjang lebih tinggi dari yield jangka pendek. Ada berbagai hipotesis yang menjelaskan bentuk kurva yield normal ini. Salah satunya adalah hipotesis ekspektasi. Hipotesis ini mengatakan bahwa bentuk kurva yield dibentuk oleh ekspektasi terhadap suku bunga di masa datang.
Bentuk kurva normal menggambarkan ekspektasi akan terjadi kenaikan tingkat bunga jangka pendek (The Fed Funds rate) di masa datang yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter yang lebih ketat untuk mengendalikan laju inflasi.
Sebaliknya, kurva yield yang memiliki slope negatif (inverted), yakni saat yield jangka panjang lebih rendah dari yield jangka pendek, menggambarkan bahwa pasar memperkirakan suku bunga akan turun (karena perkiraan ekonomi melambat atau akan memasuki masa resesi sehingga dibutuhkan stimulus dari sisi moneter dalam bentuk penurunan suku bunga). Jadi, dalam keadaan yang normal, kemiringan kurva yield akan searah dengan arah pergerakan suku bunga jangka pendek, terutama The Fed.
Situasi di mana yield jangka panjang surat utang Pemerintah AS (US-Treasury) lebih rendah dari yield jangka yang lebih pendek (padahal ketika itu The Fed masih menaikkan suku bunga) yang pernah terjadi di pasar obligasi AS amat bertentangan dengan teori yang disebutkan di atas sehingga oleh Greenspan disebut sebagai sebuah conundrum. Artinya, sesuatu yang membingungkan. Conundrum seperti ini tidak terjadi di pasar obligasi Indonesia, paling tidak selama dua tahun terakhir.
Conundrum terjadi karena pelaku pasar AS bertaruh bahwa penaikan suku bunga akan segera membawa ekonomi AS memasuki masa resesi sehingga suku bunga akan segera turun dalam waktu dekat. Namun, pelaku pasar obligasi di AS telah merevisi pandangan mengenai kebijakan moneter the Fed.
Optimisme bahwa suku bunga di AS akan diturunkan dalam waktu dekat tampaknya sudah tidak menjadi pandangan umum lagi. Selama paruh pertama 2007, kita melihat yield jangka panjang US-Treasury mengalami peningkatan yang signifikan, sementara yield jangka pendek sebaliknya mengalami penurunan.
Dampak ke pasar domestik
Pasar obligasi Indonesia tidak terpisahkan dari perubahan yang terjadi di pasar global karena sistem keuangan Indonesia saat ini memiliki derajat keterbukaan yang lebih tinggi di bandingkan masa lalu. Hal ini dapat dilihat pada pergerakan obligasi pemerintah berjangka waktu 10 tahun antara Indonesia dan AS yang memiliki arah pergerakan yang relatif sama. Ketika yield US-Treasury mengalami lonjakan pada tanggal 7 Juni 2007 akibat kenaikan suku bunga di beberapa negara, keesokan harinya (8 Juni) yield obligasi surat utang negara (SUN) Indonesia mengalami kenaikan tajam juga. Tetapi untungnya tekanan kenaikan yield di pasar obligasi rupiah cepat mereda karena investor cepat menyadari situasi di Indonesia tidak sama dengan yang terjadi di AS.
Apakah persamaan dan perbedaan antara pasar obligasi di Indonesia dan di AS?
Persamaannya, investor di Indonesia dan AS sama-sama telah melakukan valuasi dengan menggunakan tingkat bunga yang diekspektasi akan turun. Artinya, ekspektasi penurunan suku bunga telah di-price in di dalam pembentukan harga obligasi di pasar sehingga harga obligasi mengalami kenaikan pesat sehingga yield tertekan ke bawah. Tidak mengherankan harga obligasi mengalami rally yang panjang di kedua negara dalam waktu lebih dari satu tahun sampai dengan awal tahun 2007.
Hubungan harga dan yield obligasi adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, yield obligasi akan turun.
Ketika ekspektasi penurunan suku bunga The Fed tampaknya tidak akan terealisasi (paling tidak di tahun 2007), pelaku pasar menghitung ulang harga US-Treasury dengan menggunakan suku bunga yang telah direvisi. Pasar memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat akibat pertumbuhan ekonomi AS masih tinggi sehingga berpotensi memicu tekanan inflasi.
Beruntung pergerakan suku bunga di Indonesia dan AS berbeda arah. Dengan laju inflasi yang cenderung menurun, suku bunga acuan (BI Rate) diperkirakan masih berpeluang turun. Jadi, investor obligasi rupiah tidak perlu merevisi valuasi harga obligasi karena ekspektasi penurunan suku bunga diperkirakan akan terealisasi. Perbedaan inilah yang diperkirakan akan membuat arah pergerakan yield obligasi di AS dan di Indonesia berbeda. Jadi, yield US-Treasury diperkirakan tidak akan banyak turun dalam beberapa bulan ke depan, sedangkan yield obligasi SUN masih berpotensi mengalami penurunan.
Dengan demikian, walaupun harga obligasi rupiah sempat terhuyung oleh imbas kenaikan yield global, namun kenaikan tersebut diperkirakan terbatas. Dan jika ditelaah lebih teliti, yield obligasi saat ini tidak lebih tinggi dari level angka dua bulan lalu. Patut dicatat juga bahwa kenaikan yield tidak mengangkat yield obligasi rupiah ke level yang tertinggi. Kenaikan yang terjadi lebih tepat dikatakan sebagai koreksi terhadap penurunan yield yang sangat cepat yang terjadi selama dua tahun terakhir.
Sikap investor obligasi
Bagaimana seharusnya investor merespons kenaikan yield obligasi yang terjadi belakangan ini? Ada dua hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, perhatikan fakta bahwa ketika yield naik berarti harga turun. Jadi, harga obligasi saat ini relatif lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya. Bagi investor yang selama ini menilai harga obligasi sudah terlalu tinggi, mungkin sekarang saatnya untuk mengalokasikan dananya kembali ke obligasi. Harga yang lebih murah tentunya menawarkan potensi imbal hasil yang lebih menarik.
Hal yang kedua yang perlu diperhatikan adalah arah pergerakan pasar obligasi. Dengan prospek BI Rate masih akan menurun dengan kisaran sebesar setengah sampai satu persen lagi dalam tahun ini, maka investor yang telah memiliki obligasi rupiah di dalam portofolio investasinya tidak perlu panik.
Menurut perhitungan kami, kenaikan yield yang terjadi kini hanya bersifat sementara, terutama untuk obligasi berjangka panjang (lebih dari 10 tahun).
Sebagai contoh, yield obligasi berjangka waktu 10 tahun (saat ini 8,95 persen) memberikan premi sebesar 0,45 persen di atas BI Rate. Angka ini lebih baik dari US-Treasury 10 tahun yang memberikan yield 5,08 persen, yang bahkan lebih rendah dari Fed Fund Rate saat ini sebesar 5,25 persen. Pada saat BI Rate turun, maka premi yang diberikan obligasi SUN akan menjadi lebih besar sehingga diperkirakan akan mendorong kenaikan harga obligasi kembali.
Jadi, investor obligasi tidak perlu panik terhadap kenaikan yield obligasi. Investor yang mendapat imbal hasil yang baik secara konsisten biasanya adalah mereka yang berkepala dingin dan bijak dalam berinvestasi.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/02/ekonomi/3646358.htm
Budi Susanto Head of Fixed Income Research-Danareksa Sekuritas
Pasar obligasi global tersentak ketika Bank Sentral di beberapa negara, seperti Selandia Baru, Eropa, dan Afrika Selatan menaikkan suku bunga tanpa terduga sebelumnya pada awal Juni lalu. Apalagi, pada saat yang bersamaan pelaku pasar di AS memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga sepanjang tahun 2007 ini.
Pasar obligasi Indonesia tidaklah imun terhadap berbagai perkembangan global tersebut. Bagaimana sebaiknya investor menyikapi situasi ini?
Pada pertengahan Juni 2007 terjadi gejolak penurunan harga obligasi hampir di seluruh negara. Penurunan tersebut dipicu kekhawatiran peningkatan laju inflasi di berbagai negara akibat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Laju inflasi yang tinggi dikhawatirkan akan memicu kenaikan suku bunga secara global sehingga harga obligasi di pasar global terkoreksi.
Conundrum di pasar obligasi AS telah berakhir. Normalisasi imbal hasil (yield) jangka panjang tengah berlangsung seiring dengan peningkatan yield obligasi global.
Secara teoretis, pada saat suku bunga The Fed cenderung meningkat, bentuk kurva yield yang normal adalah yang mempunyai slope positif. Artinya, yield jangka panjang lebih tinggi dari yield jangka pendek. Ada berbagai hipotesis yang menjelaskan bentuk kurva yield normal ini. Salah satunya adalah hipotesis ekspektasi. Hipotesis ini mengatakan bahwa bentuk kurva yield dibentuk oleh ekspektasi terhadap suku bunga di masa datang.
Bentuk kurva normal menggambarkan ekspektasi akan terjadi kenaikan tingkat bunga jangka pendek (The Fed Funds rate) di masa datang yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter yang lebih ketat untuk mengendalikan laju inflasi.
Sebaliknya, kurva yield yang memiliki slope negatif (inverted), yakni saat yield jangka panjang lebih rendah dari yield jangka pendek, menggambarkan bahwa pasar memperkirakan suku bunga akan turun (karena perkiraan ekonomi melambat atau akan memasuki masa resesi sehingga dibutuhkan stimulus dari sisi moneter dalam bentuk penurunan suku bunga). Jadi, dalam keadaan yang normal, kemiringan kurva yield akan searah dengan arah pergerakan suku bunga jangka pendek, terutama The Fed.
Situasi di mana yield jangka panjang surat utang Pemerintah AS (US-Treasury) lebih rendah dari yield jangka yang lebih pendek (padahal ketika itu The Fed masih menaikkan suku bunga) yang pernah terjadi di pasar obligasi AS amat bertentangan dengan teori yang disebutkan di atas sehingga oleh Greenspan disebut sebagai sebuah conundrum. Artinya, sesuatu yang membingungkan. Conundrum seperti ini tidak terjadi di pasar obligasi Indonesia, paling tidak selama dua tahun terakhir.
Conundrum terjadi karena pelaku pasar AS bertaruh bahwa penaikan suku bunga akan segera membawa ekonomi AS memasuki masa resesi sehingga suku bunga akan segera turun dalam waktu dekat. Namun, pelaku pasar obligasi di AS telah merevisi pandangan mengenai kebijakan moneter the Fed.
Optimisme bahwa suku bunga di AS akan diturunkan dalam waktu dekat tampaknya sudah tidak menjadi pandangan umum lagi. Selama paruh pertama 2007, kita melihat yield jangka panjang US-Treasury mengalami peningkatan yang signifikan, sementara yield jangka pendek sebaliknya mengalami penurunan.
Dampak ke pasar domestik
Pasar obligasi Indonesia tidak terpisahkan dari perubahan yang terjadi di pasar global karena sistem keuangan Indonesia saat ini memiliki derajat keterbukaan yang lebih tinggi di bandingkan masa lalu. Hal ini dapat dilihat pada pergerakan obligasi pemerintah berjangka waktu 10 tahun antara Indonesia dan AS yang memiliki arah pergerakan yang relatif sama. Ketika yield US-Treasury mengalami lonjakan pada tanggal 7 Juni 2007 akibat kenaikan suku bunga di beberapa negara, keesokan harinya (8 Juni) yield obligasi surat utang negara (SUN) Indonesia mengalami kenaikan tajam juga. Tetapi untungnya tekanan kenaikan yield di pasar obligasi rupiah cepat mereda karena investor cepat menyadari situasi di Indonesia tidak sama dengan yang terjadi di AS.
Apakah persamaan dan perbedaan antara pasar obligasi di Indonesia dan di AS?
Persamaannya, investor di Indonesia dan AS sama-sama telah melakukan valuasi dengan menggunakan tingkat bunga yang diekspektasi akan turun. Artinya, ekspektasi penurunan suku bunga telah di-price in di dalam pembentukan harga obligasi di pasar sehingga harga obligasi mengalami kenaikan pesat sehingga yield tertekan ke bawah. Tidak mengherankan harga obligasi mengalami rally yang panjang di kedua negara dalam waktu lebih dari satu tahun sampai dengan awal tahun 2007.
Hubungan harga dan yield obligasi adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, yield obligasi akan turun.
Ketika ekspektasi penurunan suku bunga The Fed tampaknya tidak akan terealisasi (paling tidak di tahun 2007), pelaku pasar menghitung ulang harga US-Treasury dengan menggunakan suku bunga yang telah direvisi. Pasar memperkirakan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat akibat pertumbuhan ekonomi AS masih tinggi sehingga berpotensi memicu tekanan inflasi.
Beruntung pergerakan suku bunga di Indonesia dan AS berbeda arah. Dengan laju inflasi yang cenderung menurun, suku bunga acuan (BI Rate) diperkirakan masih berpeluang turun. Jadi, investor obligasi rupiah tidak perlu merevisi valuasi harga obligasi karena ekspektasi penurunan suku bunga diperkirakan akan terealisasi. Perbedaan inilah yang diperkirakan akan membuat arah pergerakan yield obligasi di AS dan di Indonesia berbeda. Jadi, yield US-Treasury diperkirakan tidak akan banyak turun dalam beberapa bulan ke depan, sedangkan yield obligasi SUN masih berpotensi mengalami penurunan.
Dengan demikian, walaupun harga obligasi rupiah sempat terhuyung oleh imbas kenaikan yield global, namun kenaikan tersebut diperkirakan terbatas. Dan jika ditelaah lebih teliti, yield obligasi saat ini tidak lebih tinggi dari level angka dua bulan lalu. Patut dicatat juga bahwa kenaikan yield tidak mengangkat yield obligasi rupiah ke level yang tertinggi. Kenaikan yang terjadi lebih tepat dikatakan sebagai koreksi terhadap penurunan yield yang sangat cepat yang terjadi selama dua tahun terakhir.
Sikap investor obligasi
Bagaimana seharusnya investor merespons kenaikan yield obligasi yang terjadi belakangan ini? Ada dua hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, perhatikan fakta bahwa ketika yield naik berarti harga turun. Jadi, harga obligasi saat ini relatif lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya. Bagi investor yang selama ini menilai harga obligasi sudah terlalu tinggi, mungkin sekarang saatnya untuk mengalokasikan dananya kembali ke obligasi. Harga yang lebih murah tentunya menawarkan potensi imbal hasil yang lebih menarik.
Hal yang kedua yang perlu diperhatikan adalah arah pergerakan pasar obligasi. Dengan prospek BI Rate masih akan menurun dengan kisaran sebesar setengah sampai satu persen lagi dalam tahun ini, maka investor yang telah memiliki obligasi rupiah di dalam portofolio investasinya tidak perlu panik.
Menurut perhitungan kami, kenaikan yield yang terjadi kini hanya bersifat sementara, terutama untuk obligasi berjangka panjang (lebih dari 10 tahun).
Sebagai contoh, yield obligasi berjangka waktu 10 tahun (saat ini 8,95 persen) memberikan premi sebesar 0,45 persen di atas BI Rate. Angka ini lebih baik dari US-Treasury 10 tahun yang memberikan yield 5,08 persen, yang bahkan lebih rendah dari Fed Fund Rate saat ini sebesar 5,25 persen. Pada saat BI Rate turun, maka premi yang diberikan obligasi SUN akan menjadi lebih besar sehingga diperkirakan akan mendorong kenaikan harga obligasi kembali.
Jadi, investor obligasi tidak perlu panik terhadap kenaikan yield obligasi. Investor yang mendapat imbal hasil yang baik secara konsisten biasanya adalah mereka yang berkepala dingin dan bijak dalam berinvestasi.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/02/ekonomi/3646358.htm
Budi Susanto Head of Fixed Income Research-Danareksa Sekuritas